AKHLAK KEPADA KELUARGA DAN KARIB KERABAT
A.
Pengertian Akhlak, Keluarga, dan Karib Kerabat
Menurut bahasa, kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab (أَخْلاَقٌ)
yang merupakan bentuk jamak dari (خُلُقٌ)
yang berarti tingkah laku, perangai, atau tabi’at. [1]
Imam al-Ghazali menjelaskan defenisi akhlak yaitu suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang dari sifat tersebut akan muncul spontanitas dalam
berbuat dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan dan pemikiran
terlebih dahulu.[2]
Selanjutnya pemakalah beralih kepada defenisi keluarga, menurut
Kamus Bahasa Indonesia, keluarga adalah sekelompok ibu bapak dengan
anak-anaknya, sanak saudara, dan kaum kerabat.[3]
Sedangkan defenisi kerabat atau karib kerabat sendiri yaitu hubungan yang erat
dan dekat berupa pertalian keluarga,dan masih sedaging darah.[4]
Keluarga dalam konsep Islam bukanlah
keluarga kecil seperti konsep Barat (nuclear family) yang hanya terdiri
dari bapak, ibu dan anak, tetapi didalam islam dapat diistilahkan dengan
keluarga besar; melebar ke atas, ke bawah dan ke samping. Di samping anggota
inti keluarga (bapak, ibu dan anak) juga mencakup kakek, nenek, cucu, kakak,
adik, pama, bibi, keponakan, sepupu dan lain-lain seterusnya. Yang lebih dekat
hubungan dengan keluarga inti dsebut kluarga dekat dan yang lebih jauh disebut
keluarga jauh. Keluarga besar itulah yang disebut oleh al-Qur’an dengan dzawi
al-Qurba (di dalam surat al-Baqarah ayat 83), ulu al-Qurba (
Al-Nisa’ 8) atau ulu al-Arham ( al-Anfal 78).[5]
Dari pengertian di atas, pemakalah menarik kesimpulan bahwa antara
keluarga dan karib kerabat adalah suatu pengertian yang sama, karena pada
hakikatnya ia adalah suatu ikatan yang memiliki kedekatan dan pertalian darah.
Namun mungkin perbedaanya hanya terletak pada kedudukan karib kerabat, di dalam
Islam kerabat terbagi kepada dua, yaitu kerabat jauh dan kerabat dekat.
Maka akhlak kepada keluarga adalah, suatu sifat yang kita berikan
secara spontanitas terhadap keluarga maupun kerabat, yang terwujud dalam bentuk
perbuatan yang mudah untuk dilakukan tanpa ada pikir panjang dan pertimbangan.
B.
Beberapa ayat al-Qur’an yang Berbicara tentang Akhlak Terhadap
Keluarga dan Karib Kerabat
Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana
seharusnya akhlak kita terhadap keluarga dan karib kerabat, meskipun tidak
dijelaskan secara tersirat namun ia dapat kita pahami secara tersurat melalui
pemahaman yang dapat kita ambil dari maksud ayat tersebut, di dalam al-Qur’an
kata keluarga di istilahkan dengan أَهْلٌ
dan kata kerabat hadir dengan istilah قُرْبَى.
Berikut beberapa contoh ayat al-Qur’an yang berbicara tentang keluarga dan
karib kerabat, yang dari contoh ayat tersebut dapat dijadikan sebagai akhlak
terhadap keluarga:
1.
Senantiasa memperingatkan dan memberi nasehat kepada keluarga untuk
selalu taat terhadap Allah, dasar dari
pemahaman ini adalah surat al-Tahrim ayat 6 ( Madaniyyah)
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur
#Y$tR
$ydßqè%ur
â¨$¨Z9$#
äou$yfÏtø:$#ur
$pkön=tæ
îps3Í´¯»n=tB
ÔâxÏî
×#yÏ©
w
tbqÝÁ÷èt
©!$#
!$tB
öNèdttBr&
tbqè=yèøÿtur
$tB
tbrâsD÷sã
ÇÏÈ
“ Wahai
orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari
siksa neraka. Neraka itu bahan bakarnya adalah manusia dan berhala-berhala.
Malaikat yang kekar lagi kasar menjaga neraka. Para malaikat tidak pernah
menyalahi perintah yang Allah berikan kepada mereka. Para malaikat senantiasa
melaksanakan perintah-Nya. (QS. Al-Tahrim:
6)”.[6]
Makna
Mufradat:
ö/ä3|¡àÿRr&(#þqè%: Jadilah dirimu itu pelindung dari api neraka, dengan meninggalkan
maksiat.
/ä3Î=÷dr&ur: Membawa keluargamu kepada hal itu dengan nasihat dan pengajaran.
Penafsiran Ayat:
Sufyan al-Tsauri telah meriwayatkan dari Mansur ,dari seorang
lelaki, dari Ali bin Abu Thalib r.a. sehubungan dengan Firman Allah: #Y$tRö/ä3Î=÷dr&ur/ä3|¡àÿRr&(#þqè% menjelaskan
bahwa makna yang dimaksud ialah didiklah mereka dan ajarilah mereka.[7]
Ali Ibnu Thalhah juga menjelaskan bahwa maksud dari ayat tersebut
adalah perintah untuk beramal dan berlaku taat kepada Allah dan menghindari
perbuatan-perbuatan durhaka kepada Allah, serta perintahkanlah keluargamu untuk
berzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kamu dari api neraka.[8]
Di dalam tafsir al-Maraghi karangan Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi
dijelaskan bahwa surat al-Tahrim ayat 6 ini bermakna perintah untuk taat kepada
Allah Ta’ala dan menuruti segala perintah-Nya. Dan hendaklah kamu mengajarkan
kepada keluargamu perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri mereka
dari api neraka. Dan cara untuk hal tersebut adalah melalui nasihat dan
pengajaran.[9]
Syekh al-Maraghi juga menjelaskan bahwa ayat tersebut semakna
dengan surat Thaaha ayat 132:
öãBù&ur
y7n=÷dr&
Ío4qn=¢Á9$$Î/
÷É9sÜô¹$#ur
$pkön=tæ
(
w
y7è=t«ó¡nS
$]%øÍ
(
ß`øtªU
y7è%ãötR
3
èpt6É)»yèø9$#ur
3uqø)G=Ï9
ÇÊÌËÈ
“Wahai Muhammad, suruhlah keluargamu melaksanakan shalat dan
bersabarlah kamu dalam melaksanakannya. Kami tidak meminta imbalan kepada kamu,
bahkan kamilah yang memberi rezki kepadamu. Pahala yang baik di akhirat kelak
hanyalah bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan bertauhid”.[10]( QS.Thaaha: 132)
Dan juga
semakna dengan surat al-Syu’ara’ ayat 214 ( Makiyyah):
öÉRr&ur
y7s?uϱtã
úüÎ/tø%F{$#
ÇËÊÍÈ
“ Wahai
Muhammad berilah peringatan kepada kerabat dekatmu”.[11]
Syekh Muhammad Ali al-Shaabuuni
dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasir juga menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan :
: #Y$tRö/ä3Î=÷dr&ur/ä3|¡àÿRr&(#þqè% إِحْفَظُوْا أَنْفُسَكُمْ,
وَ صُوْ نُوْ ا أَزْوَاجَكُمْ وَ أَوْلَا دَكُمْ, مِنْ نَارِ حَا مِيَةٍ مُسْتَعِرَةٍ,
وذَلِكَ بِتَرْكِ الْمَعَاصِيْ وَفِعَلُ الطَّاعَاتِ, وَبِتَأْدِيْهِمْ وَتَعْلِيْمِهِمْ
.[12]
“ Jagalah dirimu, dan jagalah keluarga
dan anak-anakmu dari neraka haamiyah yang menyala-nyala, dan hal tersebut
adalah dengan meninggalkan maksiat dan melakukan ketaatan, dan juga dengan
mendidik mereka dan mengajarkan mereka”.
Dari beberapa
pendapat penafsiran di atas, pemakalah menyimpulkan bahwa maksud dari surat
al-Tahrim ayat 6 adalah perintah untuk menjaga keluarga maupun kerabat kita
dari api neraka, dan hal tersebut dapat dilakukan dengan mengajarkan,
memperingatkan, dan mendidik mereka untuk selalu taat kepada Allah dan
menjalankan semua perintah Allah, karena jika hal tersebut telah dilakukan,
maka akan terhindarlah dirimu dari api neraka.
2.
Memberikan bagian keluarga dan kerabat dalam hal pembagian harta
warisan sesuai aturan yang telah ditentukan al-Qur’an.
Salah satu hal yang juga dapat menjadi akhlak terhadap keluarga
adalah membagi dengan adil harta warisan sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan
sunnah, dan hal tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam suatu bidang ilmu
Islam yang bernama ilmu faraidh, adapun firman Allah yang menjadi
landasan pembahasan bagi pemakalah adalah surat al-Nisa’ ayat 7(
Madaniyyah ):
ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
tbqç/tø%F{$#ur
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
cqç/tø%F{$#ur
$£JÏB
¨@s%
çm÷ZÏB
÷rr&
uèYx.
4
$Y7ÅÁtR
$ZÊrãøÿ¨B
ÇÐÈ
“ Anak-anak
laki mendapatkan bagian dari harta yang ditinggalkan oleh ibu bapaknya dan
kerabatnya. Anak-anak perempuan juga mendapatkan bagian dari harta yang
ditinggalkan oleh ibu dan bapaknya dan kerabatnya. Masing-masing mendapat
bagian sedikit atau banyak sesuai dengan bagian yang Allah tetapkan”.[13]
(QS. al-Nisa’: 7)
Makna Mufradat:
bqç/tø%F{$#u: Karib kerabat
(yang lebih dekat) $ZÊrãøÿ¨B : Dipastikan dan diharuskan
mereka ambil.
Asbab al-Nuzul:
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa kebiasaan kaum Jahiliyah tidak memberikan harta
waris kepada anak wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Ketika seorang
Anshar bernama Aus bin Tsabit meninggal dan meninggalkan 2 putri dan 1 anak
laki-laki yang masih kecil, datanglah 2 orang anak pamannya yaitu Khalid dan
‘Arfathah, yang menjadi ‘ashabah. Mereka mengambil semua harta
peninggalannya. Maka datanglah isteri Aus bin Tsabit kepada Rasulullah SAW
untuk menerangkan kejadian itu. Rasulullah SAW bersabda: “ Saya tidak tahu
apa yang harus saya katakan”. Maka turunlah surat al-Nisa’ ayat 7 tersebut
sebagai penjelasan bagaimana hukum waris dalam Islam. [14]
Penafsiran ayat:
Syekh Ibnu
Katsir dalam tafsirnya Ibnu Katsir juz 4 menjelaskan bahwa maksud surat
al-Nisa’ ayat 7 adalah bahwa semuanya sama dalam hukum Allah SWT. Mereka mempunyai
hak waris, sekalipun terdapat perbedaan menurut bagian-bagian yang ditentukan
oleh Allah SWT. Bagi masing-masing dari mereka sesuai dengan kedudukan
kekerabatan dengan si mayat, atau hubungan suami isteri, atau hubungan al-wala
(hubungan pertalian darah yang senasab).[15]
Ayat berikutnya
dari surat ini juga membicarakan hal yang hampir senada dengan ayat sebelumnya,
akan tetapi pada ayat ini dikhususkan kepada kerabat yang tidak memiliki hak
waris dalam pembagian harta, atau diistilahkan dengan dzaw al-Qurba:
orang-orang dari kalangan si mayat yang tidak mewarisi.
#sÎ)ur
u|Øym
spyJó¡É)ø9$#
(#qä9'ré&
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur
Nèdqè%ãö$$sù
çm÷YÏiB
(#qä9qè%ur
óOçlm;
Zwöqs%
$]ùrã÷è¨B
ÇÑÈ
“Wahai mukmin, apabila kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang
miskin datang ketika pembagian waris, berikanlah kepada mereka sedikit sedekah
dari harta waris itu, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang baik”.[16] (QS. Al- Nisa’: 8)
Maksud dari
ayat tersebut adalah apabila ketika pembagian harta waris itu juga dihadiri
oleh kaum kerabatdari orang yang mewarisi harta itu, maka hendaknya mereka
diberi sedikit rezeki dari harta yang kalian terima tanpa susah payah, dan
tanpa kelelahan. Maka janganlah engkau bersifat bakhil terhadap kerabat yang membutuhkan, anak-anak
yatim dan orang-orang muslim dari kerabat lain.[17]
Contoh untuk kasus ini adalah: Seorang paman tidak akan mendapat
warisan, karena ada anak laki-laki yang menghalanginya, jikalau sewaktu
pembagian warisan paman tersebut menghadiri, maka dianjurkan untuk memberikan
sekedarnya dari harta warisan tersebut. Ini tentu dimaksudkan untuk menjaga
atau memprerat hubungan persaudaraan antar sesama karib kerabat.[18]
3.
Berbuat baik kepada kerabat dan memberikan hak-hak kerabat
Landasan
surat yang menjadi pembahasan dalam poin ini adalah surat al- Isra’ ayat 26
(Makkiyah):
ÏN#uäur
#s
4n1öà)ø9$#
¼çm¤)ym
tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur
tûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
wur
öÉjt7è?
#·Éö7s?
ÇËÏÈ
“ Wahai Muhammad, berbuat baiklah kamu kepada kaum kerabat.
Berikanlah hak kaum kerabat, orang-orang miskin dan orang-orang yang kehabisan
bekal dalam perjalanan. Janganlah kamu membelanjakan hartamu sedikit pun untuk
hal yang haram”.[19] (QS. Al-Isra’: 26)
Makna Mufradat:
n1öà)ø9$# : Keluarga, kaum kerabat, karib
Asbab al-Nuzul:
Dalam suatu
riwayat dikatakan bahwa ketika turun ayat tersebut, Rasulullah memberikan tanah
di Fadak (Tanah tersebut diperoleh Rasulullah dari pembagian ghanimah) kepada Fatimah.[20]
Penafsiran
Ayat:
Jika dilihat kepada munasabah ayat sebelumnya, maka ayat sebelumnya
adalah perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, lalu
selanjutnya Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada tiga golongan
lainnya: وَءَاتِ ذَالْقُرْبَى حَقَّهُ
وَاْلمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ “Berikanlah
wahai orang mukallaf , kepada kerabatmu haknya”. Seperti silaturrahim, rasa cinta,kunjungan dan pergaulan
yang baik. Dan jika kerabat itu memerlukan nafkah, maka belanjakanlah kepadanya
apa yang dapat menutupi kebutuhannya.[21]
Cukup banyak ayat di dalam al-Qur’an yang berbicara tentang
kerabat, salah satu ayat yang juga senada dengan pembahasan pada poin ini
adalah surat al-Baqarah ayat 177 ( Madaniyyah):
}§ø©9
§É9ø9$#
br&
(#q9uqè?
öNä3ydqã_ãr
@t6Ï%
É-Îô³yJø9$#
É>ÌøóyJø9$#ur
£`Å3»s9ur
§É9ø9$#
ô`tB
z`tB#uä
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur
É=»tGÅ3ø9$#ur
z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur
tA#uäur
tA$yJø9$#
4n?tã
¾ÏmÎm6ãm
Írs
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur
tûüÅ3»|¡yJø9$#ur
tûøó$#ur
È@Î6¡¡9$#
tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur
Îûur
ÅU$s%Ìh9$#
uQ$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
tA#uäur
no4q2¨9$#
cqèùqßJø9$#ur
öNÏdÏôgyèÎ/
#sÎ)
(#rßyg»tã
(
tûïÎÉ9»¢Á9$#ur
Îû
Ïä!$yù't7ø9$#
Ïä!#§Ø9$#ur
tûüÏnur
Ĩù't7ø9$#
3
y7Í´¯»s9'ré&
tûïÏ%©!$#
(#qè%y|¹
(
y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
tbqà)GßJø9$#
ÇÊÐÐÈ
“Wahai kaum mukmin, hakikat al-bir, taat kepada Allah itu
bukanlah sekedar menghadapkan diri ke arah Timurdan Barat.Orang yang taat
kepada Allah yang sebenarnya adalah orang yang beriman kepada Allah, hari
akhirat, para malaikat. Kitab-kitab-Nya, dan para Nabi-Nya.Dia memberikan
harta yang dicintainya kepada kaum kerabat, anak-anak yatim,orang-orang
miskin, orang-orang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta karena
miskin. Dan untuk membebaskan budak. Dia juga melaksanakan shalat dan
mengeluarkan zakat. Juga orang-orang yang memenuhi janji-janji mereka bila
berjanji, serta bersabar menghadapi malapetaka, bencana, dan saat terjadi
peperangan.Orang-orang itulah yang dikatakan benar-benar beriman. Mereka itulah
orang-orang yang taqwa, taat kepada Allah dan bertauhid”.[22]
( QS. Al- Baqarah: 177)
Di dalam tafsir
al-Maraghi juz 2 dikatakan bahwa maksud kata-kata yang pemakalah garis bawahi
adalah bahwa engkau mengeluarkan harta kepada orang-orang yang membutuhkan
karena belas kasihan terhadap mereka, adalah ditujukan kepada orang-orang yang
disebutkan dalam ayat, dan salah satu di antara mereka tersebut adalah Sanak
famili yang membutuhkan, Mereka adalah orang yang paling berhak menerima uluran
tangan. Karena, berdasarkan fitrahnya, manusia akan merasa lebih kasih sayang
terhadap sanak familinya yang hidup miskin dibanding orang lain.[23]
Ia akan
merasakan bahwa kesengsaraan yang diderita keluarganya berarti kesengsaraan
dirinya, sebaliknya kesejahteraan keluarganya itu juga merupakan kesejahteraan
dirinya. Siapapun yang memutuskan hubungan persaudaraan dengan mereka dan tidak
mau menolong, padahal, mereka dalam keadaan miskin, dan ia sendiri bergelimang
nikmat Tuhan (kekayaan), berarti ia telah jatuh dari peraturan agama dan fitrah
manusianya.[24]
Rasulullah
SAW bersabda dalam sebuah hadis tentang sedekah kepada kerabat:
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّدَقَةُ عَلَى
الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الْقَرَابَةِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Dari Salman bin Amir al-Dhabbi,
ia berkata,“Rasulullah SAW bersabda” Sedekah terhadap orang miskin, (pahalanya) bernilai satu, yaitu pahala
sedekah, dan sedekah kepada karib kerabat bernilai dua, yaitu pahala sedekah
dan silaturrahim”. ( HR. Tirmidzi)[25]
Secara
prinsip seorang Muslim harus bersikap baik kepada karib kerabatnya yang lain
sebagaimana dia bersikap kepada ibu bapak anak dan saudara-saudaranya. Bibi
diperlakukan seperti ibu, paman seperti bapak. Demikian juga hubungan saudara
adik kakak. Yang lebih tua bersikap kepada yang lebih muda seperti orang tua
kepada anak, dan yang lebih muda seperti anak kepada kedua orang tuanya,
begitulah seterusnya secara melebar, dengan cucu, sepupu dan keponakan.
[1] Zahruddin AR, Pengantar
Studi Akhlak, ( Jakarta:PT Raja Grafindo, 2004), hal. 1
[2] Mustofa, Akhlak Tasawuf, ( Bandung: Pustaka
Setia, 2005), hal. 12
[3] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa
Indonesia, ( Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 676
[4] ibid., hal.
671
[6] Muhammad
Thalib, al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah, ( Yogyakarta: Ma’had al-Nabawy, 2012), edisi.3, hal. 722
[7] Al-Imam Abu
Fida Ismail Ibnu Kasir al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, judul asli: Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, penerjemah:Bahrun Abu Bakar, ( Bandung, Sinar Baru
Algensindo:2008), cet. 2, juz. 28, hal. 415
[8] Ibid.
[9] Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, judul asli: Tafsir al-Maraghi,
penerjemah: Anshori Umar Sitanggal dkk, ( Semarang: CV Toha Putra, 1989), juz
28, cet. 1, hal. 272
[10] Muhammad
Thalib, op.cit., hal. 466
[11] Muhammad
Thalib, op.cit., hal. 389
[12] Muhammad Ali
al-Shaabuuni, Shafwah al-Tafaasir
Tafsir li al-Qur’an al-Karim, ( Kairo: Daar al-Shaabuuni, tt), jilid 3, hal.
410
[14] Qamaruddin
Shaleh, dkk, Asbab al-Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat al-Qur’an,
( Bandung: CV. Diponegoro, 1992), cet. 14, hal. 122
[15] Al-Imam Abu
Fida Ismail Ibnu Katsir al-Dimasyqi, op.cit., cet. 2, juz. 4, hal. 463
[17] Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, judul asli: Tafsir al-Maraghi,
penerjemah: Bahrun Abu Bakar dkk, ( Semarang: CV Toha Putra, 1993), juz 4, cet.
2, hal. 346
[19] Muhammad
Thalib, op.cit., hal. 339
[20] Qamaruddin
Shaleh, dkk, op.cit., hal. 296
[21] Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, judul asli: Tafsir al-Maraghi,
penerjemah: Anshori Umar Sitanggal dkk, ( Semarang: CV Toha Putra, 1988), juz 15,
cet. 1, hal. 66
[22] Muhammad
Thalib, op.cit., hal. 32
[23] Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, judul asli: Tafsir al-Maraghi,
penerjemah: Bahrun Abu Bakar, ( Semarang: CV Toha Putra, 1984), juz 2, cet. 1,
hal. 102
[24] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar