Jumat, 08 Januari 2016

MAKALAH AKHLAK


AKHLAK KEPADA KELUARGA DAN KARIB KERABAT
A.    Pengertian Akhlak, Keluarga, dan Karib Kerabat
Menurut bahasa, kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab (أَخْلاَقٌ) yang merupakan bentuk jamak dari (خُلُقٌ) yang berarti tingkah laku, perangai, atau tabi’at. [1]
Imam al-Ghazali menjelaskan defenisi akhlak yaitu suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari sifat tersebut akan muncul spontanitas dalam berbuat dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.[2]
Selanjutnya pemakalah beralih kepada defenisi keluarga, menurut Kamus Bahasa Indonesia, keluarga adalah sekelompok ibu bapak dengan anak-anaknya, sanak saudara, dan kaum kerabat.[3] Sedangkan defenisi kerabat atau karib kerabat sendiri yaitu hubungan yang erat dan dekat berupa pertalian keluarga,dan masih sedaging darah.[4]
Keluarga dalam konsep Islam bukanlah keluarga kecil seperti konsep Barat (nuclear family) yang hanya terdiri dari bapak, ibu dan anak, tetapi didalam islam dapat diistilahkan dengan keluarga besar; melebar ke atas, ke bawah dan ke samping. Di samping anggota inti keluarga (bapak, ibu dan anak) juga mencakup kakek, nenek, cucu, kakak, adik, pama, bibi, keponakan, sepupu dan lain-lain seterusnya. Yang lebih dekat hubungan dengan keluarga inti dsebut kluarga dekat dan yang lebih jauh disebut keluarga jauh. Keluarga besar itulah yang disebut oleh al-Qur’an dengan dzawi al-Qurba (di dalam surat al-Baqarah ayat 83), ulu al-Qurba ( Al-Nisa’ 8) atau ulu al-Arham ( al-Anfal 78).[5]
Dari pengertian di atas, pemakalah menarik kesimpulan bahwa antara keluarga dan karib kerabat adalah suatu pengertian yang sama, karena pada hakikatnya ia adalah suatu ikatan yang memiliki kedekatan dan pertalian darah. Namun mungkin perbedaanya hanya terletak pada kedudukan karib kerabat, di dalam Islam kerabat terbagi kepada dua, yaitu kerabat jauh dan kerabat dekat.
Maka akhlak kepada keluarga adalah, suatu sifat yang kita berikan secara spontanitas terhadap keluarga maupun kerabat, yang terwujud dalam bentuk perbuatan yang mudah untuk dilakukan tanpa ada pikir panjang dan pertimbangan.

B.     Beberapa ayat al-Qur’an yang Berbicara tentang Akhlak Terhadap Keluarga dan Karib Kerabat
Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana seharusnya akhlak kita terhadap keluarga dan karib kerabat, meskipun tidak dijelaskan secara tersirat namun ia dapat kita pahami secara tersurat melalui pemahaman yang dapat kita ambil dari maksud ayat tersebut, di dalam al-Qur’an kata keluarga di istilahkan dengan أَهْلٌ dan kata kerabat hadir dengan istilah قُرْبَى. Berikut beberapa contoh ayat al-Qur’an yang berbicara tentang keluarga dan karib kerabat, yang dari contoh ayat tersebut dapat dijadikan sebagai akhlak terhadap keluarga:
1.         Senantiasa memperingatkan dan memberi nasehat kepada keluarga untuk selalu  taat terhadap Allah, dasar dari pemahaman ini adalah surat al-Tahrim ayat 6 ( Madaniyyah)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari siksa neraka. Neraka itu bahan bakarnya adalah manusia dan berhala-berhala. Malaikat yang kekar lagi kasar menjaga neraka. Para malaikat tidak pernah menyalahi perintah yang Allah berikan kepada mereka. Para malaikat senantiasa melaksanakan perintah-Nya. (QS. Al-Tahrim: 6)”.[6]
           
                        Makna Mufradat:
     ö/ä3|¡àÿRr&(#þqè%: Jadilah dirimu itu pelindung dari api neraka, dengan meninggalkan maksiat.
     /ä3Î=÷dr&ur: Membawa keluargamu kepada hal itu dengan nasihat dan pengajaran.
      Penafsiran Ayat:
Sufyan al-Tsauri telah meriwayatkan dari Mansur ,dari seorang lelaki, dari Ali bin Abu Thalib r.a. sehubungan dengan Firman Allah: #Y$tRö/ä3Î=÷dr&ur/ä3|¡àÿRr&(#þqè% menjelaskan bahwa makna yang dimaksud ialah didiklah mereka dan ajarilah mereka.[7]
Ali Ibnu Thalhah juga menjelaskan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah perintah untuk beramal dan berlaku taat kepada Allah dan menghindari perbuatan-perbuatan durhaka kepada Allah, serta perintahkanlah keluargamu untuk berzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kamu dari api neraka.[8]
Di dalam tafsir al-Maraghi karangan Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi dijelaskan bahwa surat al-Tahrim ayat 6 ini bermakna perintah untuk taat kepada Allah Ta’ala dan menuruti segala perintah-Nya. Dan hendaklah kamu mengajarkan kepada keluargamu perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka. Dan cara untuk hal tersebut adalah melalui nasihat dan pengajaran.[9]
Syekh al-Maraghi juga menjelaskan bahwa ayat tersebut semakna dengan surat Thaaha ayat 132:
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ ( Ÿw y7è=t«ó¡nS $]%øÍ ( ß`øtªU y7è%ãötR 3 èpt6É)»yèø9$#ur 3uqø)­G=Ï9 ÇÊÌËÈ  
“Wahai Muhammad, suruhlah keluargamu melaksanakan shalat dan bersabarlah kamu dalam melaksanakannya. Kami tidak meminta imbalan kepada kamu, bahkan kamilah yang memberi rezki kepadamu. Pahala yang baik di akhirat kelak hanyalah bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan bertauhid”.[10]( QS.Thaaha: 132)
Dan juga semakna dengan surat al-Syu’ara’ ayat 214 ( Makiyyah):
öÉRr&ur y7s?uŽÏ±tã šúüÎ/tø%F{$# ÇËÊÍÈ     
“ Wahai Muhammad berilah peringatan kepada kerabat dekatmu”.[11]
Syekh Muhammad Ali al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasir juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan :
 : #Y$tRö/ä3Î=÷dr&ur/ä3|¡àÿRr&(#þqè%  إِحْفَظُوْا أَنْفُسَكُمْ, وَ صُوْ نُوْ ا أَزْوَاجَكُمْ وَ أَوْلَا دَكُمْ, مِنْ نَارِ حَا مِيَةٍ مُسْتَعِرَةٍ, وذَلِكَ بِتَرْكِ الْمَعَاصِيْ وَفِعَلُ الطَّاعَاتِ, وَبِتَأْدِيْهِمْ وَتَعْلِيْمِهِمْ .[12]
“ Jagalah dirimu, dan jagalah keluarga dan anak-anakmu dari neraka haamiyah yang menyala-nyala, dan hal tersebut adalah dengan meninggalkan maksiat dan melakukan ketaatan, dan juga dengan mendidik mereka dan mengajarkan mereka”.
Dari beberapa pendapat penafsiran di atas, pemakalah menyimpulkan bahwa maksud dari surat al-Tahrim ayat 6 adalah perintah untuk menjaga keluarga maupun kerabat kita dari api neraka, dan hal tersebut dapat dilakukan dengan mengajarkan, memperingatkan, dan mendidik mereka untuk selalu taat kepada Allah dan menjalankan semua perintah Allah, karena jika hal tersebut telah dilakukan, maka akan terhindarlah dirimu dari api neraka.
2.         Memberikan bagian keluarga dan kerabat dalam hal pembagian harta warisan sesuai aturan yang telah ditentukan al-Qur’an.
Salah satu hal yang juga dapat menjadi akhlak terhadap keluarga adalah membagi dengan adil harta warisan sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan sunnah, dan hal tersebut telah dijelaskan secara rinci dalam suatu bidang ilmu Islam yang bernama ilmu faraidh, adapun firman Allah yang menjadi landasan pembahasan bagi pemakalah adalah surat al-Nisa’ ayat 7( Madaniyyah ):
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ      
Anak-anak laki mendapatkan bagian dari harta yang ditinggalkan oleh ibu bapaknya dan kerabatnya. Anak-anak perempuan juga mendapatkan bagian dari harta yang ditinggalkan oleh ibu dan bapaknya dan kerabatnya. Masing-masing mendapat bagian sedikit atau banyak sesuai dengan bagian yang Allah tetapkan”.[13] (QS. al-Nisa’: 7)

Makna Mufradat:
bqç/tø%F{$#u: Karib kerabat (yang lebih dekat)    $ZÊrãøÿ¨B  : Dipastikan dan diharuskan mereka ambil.
Asbab al-Nuzul:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kebiasaan kaum Jahiliyah tidak memberikan harta waris kepada anak wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Ketika seorang Anshar bernama Aus bin Tsabit meninggal dan meninggalkan 2 putri dan 1 anak laki-laki yang masih kecil, datanglah 2 orang anak pamannya yaitu Khalid dan ‘Arfathah, yang menjadi ‘ashabah. Mereka mengambil semua harta peninggalannya. Maka datanglah isteri Aus bin Tsabit kepada Rasulullah SAW untuk menerangkan kejadian itu. Rasulullah SAW bersabda: “ Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan”. Maka turunlah surat al-Nisa’ ayat 7 tersebut sebagai penjelasan bagaimana hukum waris dalam Islam. [14]
Penafsiran ayat:
Syekh Ibnu Katsir dalam tafsirnya Ibnu Katsir juz 4 menjelaskan bahwa maksud surat al-Nisa’ ayat 7 adalah bahwa semuanya sama dalam hukum Allah SWT. Mereka mempunyai hak waris, sekalipun terdapat perbedaan menurut bagian-bagian yang ditentukan oleh Allah SWT. Bagi masing-masing dari mereka sesuai dengan kedudukan kekerabatan dengan si mayat, atau hubungan suami isteri, atau hubungan al-wala (hubungan pertalian darah yang senasab).[15]
Ayat berikutnya dari surat ini juga membicarakan hal yang hampir senada dengan ayat sebelumnya, akan tetapi pada ayat ini dikhususkan kepada kerabat yang tidak memiliki hak waris dalam pembagian harta, atau diistilahkan dengan dzaw al-Qurba: orang-orang dari kalangan si mayat yang tidak mewarisi.
#sŒÎ)ur uŽ|Øym spyJó¡É)ø9$# (#qä9'ré& 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ßûüÅ6»|¡yJø9$#ur Nèdqè%ãö$$sù çm÷YÏiB (#qä9qè%ur óOçlm; Zwöqs% $]ùrã÷è¨B ÇÑÈ  
“Wahai mukmin, apabila kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang miskin datang ketika pembagian waris, berikanlah kepada mereka sedikit sedekah dari harta waris itu, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang baik”.[16] (QS. Al- Nisa’: 8)
Maksud dari ayat tersebut adalah apabila ketika pembagian harta waris itu juga dihadiri oleh kaum kerabatdari orang yang mewarisi harta itu, maka hendaknya mereka diberi sedikit rezeki dari harta yang kalian terima tanpa susah payah, dan tanpa kelelahan. Maka janganlah engkau bersifat bakhil  terhadap kerabat yang membutuhkan, anak-anak yatim dan orang-orang muslim dari kerabat lain.[17]
Contoh untuk kasus ini adalah: Seorang paman tidak akan mendapat warisan, karena ada anak laki-laki yang menghalanginya, jikalau sewaktu pembagian warisan paman tersebut menghadiri, maka dianjurkan untuk memberikan sekedarnya dari harta warisan tersebut. Ini tentu dimaksudkan untuk menjaga atau memprerat hubungan persaudaraan antar sesama karib kerabat.[18]

3.      Berbuat baik kepada kerabat dan memberikan hak-hak kerabat
Landasan surat yang menjadi pembahasan dalam poin ini adalah surat al- Isra’ ayat 26 (Makkiyah):
ÏN#uäur #sŒ 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# Ÿwur öÉjt7è? #·ƒÉö7s? ÇËÏÈ  
“ Wahai Muhammad, berbuat baiklah kamu kepada kaum kerabat. Berikanlah hak kaum kerabat, orang-orang miskin dan orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Janganlah kamu membelanjakan hartamu sedikit pun untuk hal yang haram”.[19] (QS. Al-Isra’: 26)
Makna Mufradat:
n1öà)ø9$# : Keluarga, kaum kerabat, karib
Asbab al-Nuzul:
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika turun ayat tersebut, Rasulullah memberikan tanah di Fadak (Tanah tersebut diperoleh Rasulullah dari pembagian ghanimah) kepada Fatimah.[20]
Penafsiran Ayat:
Jika dilihat kepada munasabah ayat sebelumnya, maka ayat sebelumnya adalah perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, lalu selanjutnya Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada tiga golongan lainnya: وَءَاتِ ذَالْقُرْبَى حَقَّهُ وَاْلمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِBerikanlah wahai orang mukallaf , kepada kerabatmu haknya”. Seperti silaturrahim, rasa cinta,kunjungan dan pergaulan yang baik. Dan jika kerabat itu memerlukan nafkah, maka belanjakanlah kepadanya apa yang dapat menutupi kebutuhannya.[21]
Cukup banyak ayat di dalam al-Qur’an yang berbicara tentang kerabat, salah satu ayat yang juga senada dengan pembahasan pada poin ini adalah surat al-Baqarah ayat 177 ( Madaniyyah):
}§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
Wahai kaum mukmin, hakikat al-bir, taat kepada Allah itu bukanlah sekedar menghadapkan diri ke arah Timurdan Barat.Orang yang taat kepada Allah yang sebenarnya adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhirat, para malaikat. Kitab-kitab-Nya, dan para Nabi-Nya.Dia memberikan harta yang dicintainya kepada kaum kerabat, anak-anak yatim,orang-orang miskin, orang-orang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta karena miskin. Dan untuk membebaskan budak. Dia juga melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat. Juga orang-orang yang memenuhi janji-janji mereka bila berjanji, serta bersabar menghadapi malapetaka, bencana, dan saat terjadi peperangan.Orang-orang itulah yang dikatakan benar-benar beriman. Mereka itulah orang-orang yang taqwa, taat kepada Allah dan bertauhid”.[22] ( QS. Al- Baqarah: 177)

Di dalam tafsir al-Maraghi juz 2 dikatakan bahwa maksud kata-kata yang pemakalah garis bawahi adalah bahwa engkau mengeluarkan harta kepada orang-orang yang membutuhkan karena belas kasihan terhadap mereka, adalah ditujukan kepada orang-orang yang disebutkan dalam ayat, dan salah satu di antara mereka tersebut adalah Sanak famili yang membutuhkan, Mereka adalah orang yang paling berhak menerima uluran tangan. Karena, berdasarkan fitrahnya, manusia akan merasa lebih kasih sayang terhadap sanak familinya yang hidup miskin dibanding orang lain.[23]    
Ia akan merasakan bahwa kesengsaraan yang diderita keluarganya berarti kesengsaraan dirinya, sebaliknya kesejahteraan keluarganya itu juga merupakan kesejahteraan dirinya. Siapapun yang memutuskan hubungan persaudaraan dengan mereka dan tidak mau menolong, padahal, mereka dalam keadaan miskin, dan ia sendiri bergelimang nikmat Tuhan (kekayaan), berarti ia telah jatuh dari peraturan agama dan fitrah manusianya.[24]
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis tentang sedekah kepada kerabat:
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الْقَرَابَةِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Dari Salman bin Amir al-Dhabbi, ia berkata,Rasulullah SAW  bersabda” Sedekah terhadap orang miskin, (pahalanya) bernilai satu, yaitu pahala sedekah, dan sedekah kepada karib kerabat bernilai dua, yaitu pahala sedekah dan silaturrahim”. ( HR. Tirmidzi)[25]
Secara prinsip seorang Muslim harus bersikap baik kepada karib kerabatnya yang lain sebagaimana dia bersikap kepada ibu bapak anak dan saudara-saudaranya. Bibi diperlakukan seperti ibu, paman seperti bapak. Demikian juga hubungan saudara adik kakak. Yang lebih tua bersikap kepada yang lebih muda seperti orang tua kepada anak, dan yang lebih muda seperti anak kepada kedua orang tuanya, begitulah seterusnya secara melebar, dengan cucu, sepupu dan keponakan.












           
                                     


[1] Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, ( Jakarta:PT Raja Grafindo, 2004), hal. 1
[2] Mustofa,  Akhlak Tasawuf, ( Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 12
[3] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 676
[4] ibid., hal. 671
[5] Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, ( Yogyakarta: LPPI, 2006), cet. 7, hal. 183
[6] Muhammad Thalib, al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah, ( Yogyakarta: Ma’had al-Nabawy,  2012), edisi.3, hal. 722
[7] Al-Imam Abu Fida Ismail Ibnu Kasir al-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, judul asli: Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, penerjemah:Bahrun Abu Bakar, ( Bandung, Sinar Baru Algensindo:2008), cet. 2, juz. 28, hal. 415
[8] Ibid.
[9] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, judul asli: Tafsir al-Maraghi, penerjemah: Anshori Umar Sitanggal dkk, ( Semarang: CV Toha Putra, 1989), juz 28, cet. 1, hal. 272
[10] Muhammad Thalib,  op.cit., hal. 466
[11] Muhammad Thalib,  op.cit., hal. 389
[12] Muhammad Ali al-Shaabuuni,  Shafwah al-Tafaasir Tafsir li al-Qur’an al-Karim, ( Kairo: Daar al-Shaabuuni, tt), jilid 3, hal. 410
[13] Muhammad Thalib,  op.cit., hal. 92
[14] Qamaruddin Shaleh, dkk, Asbab al-Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat al-Qur’an, ( Bandung: CV. Diponegoro, 1992), cet. 14, hal. 122
[15] Al-Imam Abu Fida Ismail Ibnu Katsir al-Dimasyqi, op.cit., cet. 2, juz. 4, hal. 463
[16]  Muhammad Thalib,  op.cit., hal. 92
[17] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, judul asli: Tafsir al-Maraghi, penerjemah: Bahrun Abu Bakar dkk, ( Semarang: CV Toha Putra, 1993), juz 4, cet. 2, hal. 346
[18] Yunahar Ilyas, op.cit., hal. 187
[19] Muhammad Thalib,  op.cit., hal. 339
[20] Qamaruddin Shaleh, dkk, op.cit., hal. 296
[21] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, judul asli: Tafsir al-Maraghi, penerjemah: Anshori Umar Sitanggal dkk, ( Semarang: CV Toha Putra, 1988), juz 15, cet. 1, hal. 66

[22] Muhammad Thalib,  op.cit., hal. 32
[23] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, judul asli: Tafsir al-Maraghi, penerjemah: Bahrun Abu Bakar, ( Semarang: CV Toha Putra, 1984), juz 2, cet. 1, hal. 102
[24]  Ibid.
[25] Ebook,  Shahih Sunan Ibnu Majah,  kitab Adab bagian 28 hadis nomor 1506

Tidak ada komentar:

Posting Komentar